Selasa, 19 April 2016

Cerita KKN Part 1 ~ Curug Gendang

Sebagai mahasiswi dari jurusan Pendidikan Administrasi Perkantoran di Universitas Negeri Jakarta, Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan salah satu program kuliah yang harus gue terima dengan penuh rasa ikhlas. Sebulan harus tinggal di daerah terpencil yang gatau gimana sinyalnya, bakal tinggal di rumah yang seperti apa, lingkungan yang seperti apa, teman seatap yang seperti apa. Semua hal itu sedikit membuat gue takut dan berharap bisa meng-skip KKN.

Tapi semua ketakutan gue hilang seketika begitu gue tau desa apa yang gue tempatin. Desa Sukarame di Kecamatan Carita, Kab Pandeglang, Banten, yang ternyata merupakan desa dengan banyak tempat wisata. Belum lagi tempat tinggal gue selama di Sukarame yang super nyaman dan dapet bonus kelucuan Ica -cucu dari pemilik rumah- hehe.

Mau ke pantai??? Tinggal nyebrang ke depan rumah. Mau ke sawah??? Di belakang rumah ada. Mau ke bendungan??? Atau mau ke air terjun??? Ada semua di sini hehe. Alhamdulillah rezeki anak salehah haha.

Minggu kedua ada di Sukarame, gue dan teman satu kelompok berencana pergi ke air terjun di Sukarame namanya Curug Gendang sebagai refreshing setelah lelah mengerjakan program. Kami janjian buat pergi bareng dengan anak-anak SMP dari Yayasan Al-Musyarafah.

Yap kalau gue gak salah, ini adalah perjalanan wisata outdoor gue yang ke-2 tanpa orangtua gue. Tapi ini jelas lebih menantang karena orang di luar Banten mungkin tidak mengetahui lokasi wisata Curug Gendang ini. Sekaligus merupakan tempat wisata yang berada di pedalaman Carita yang mungkin petugas-petugasnya pun tidak begitu mementingkan keselamatan pengunjung. Maklum.

Kami berangkat sekitar pukul 10 pagi dan ternyata anak-anak SMP yang pergi bersama kami semuanya perempuan. Ada juga beberapa diantara mereka yang baru pertama kali ke Curug Gendang. Kami diwanti-wanti oleh pemilik rumah dan tetangga sekitar agar jangan sampai terpisah, sepakati waktu istirahat, turuti pantangan yang ada di sana. Mereka bilang lokasi wisata ini masih sakral.

Gue dengan pede-nya dan memang sudah khas gue, gue pakai sepatu sandal croks coklat kesayangan gue yang udah botak bin dekil. Perjalanan yang ditempuh sekitar 6-9 km membuat kami mencuri kesempatan untuk mengobrol dengan anak-anak perempuan SMP ini, atau selanjutnya sebut saja gadis-gadis.

Gadis-gadis ini cukup perhatian dan mereka memiliki jiwa sosial yang patut diacungi jempol. Apalagi saat gue -anggap saja yang terlemah- megap-megap kehabisan napas karena jalanan menanjak yang super sadis. Gue pun sangsi bisa lewat jalan tanjakan itu kalau Oca -temen 1 kelas gue- gak nuntun, atau geret, gue pakai ranting. Jangan dibayangkan jalanannya mulus, jalanan ini sebenarnya merupakan kaki bukit yang sudah dibuat jalur oleh warga sekitar. Gue merasa menang melewati kaki bukit itu walaupun masih dalam keadaan megap-megap kehabisan oksigen dan belum bisa melanjutkan perjalanan. Gadis-gadis ini begitu semangat sampai menularkan semangatnya ke gue. Sayangnya, rasa semangat yang mereka tularkan ke gue ga direspon baik sama kondisi fisik gue. Mereka bahkan rela beristirahat setiap gue bilang, “ntar dulu ga kuat,” lalu duduk sambil memijit kepala gue.

Gadis-gadis ini mungkin tak tega melihat gue yang ga karuan keadaannya. Apalagi ga ada cowok yang ikut ke Curug Gendang bersama kami. Raut wajah beberapa diantara mereka mulai cemas. Entah mencemaskan keadaan gue atau mencemaskan kapan mereka akan sampai di tujuan karena keberadaan gue memang memghambat perjalanan mereka. Wkwk.

Bersambung... ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar