Selasa, 19 April 2016

Cerita KKN Part 2 ~ Gadis Pemberani

“Teh, mau saya cariin tumpangan motor buat ke atas?” tawar salah satu dari mereka ketika mendengar suara motor yang akan melintas di jalur yang kami lewati. ketika itu kami tengah berada di tengah hutan yang masih asri. Tidak ada orang selain kami dan beberapa pengendara motor yang sesekali lewat. Gue menggeleng walaupun tawaran itu begitu menggoda.

“Bentar lagi sampai, Teh. Ayo semangat, Teh!” sorak yang lain.

Beberapa menit kemudian, barulah gue memiliki tenaga untuk kembali melanjutkan perjalanan. Ternyata ga berapa lama kemudian, kami sampai di ‘pintu masuk’ Curug Gendang. Iya pintu ini sifatnya gaib, tak terlihat.

Gadis-gadis ini menuntun kami untuk berjalan dengan 1 barisan karena jalan yang akan kami lalui adalah jalan setapak. Yah jalan setapak yang cukup licin bagiku efek pakai croks botak. Tanaman atau apapun yang berada di sisi kanan jalan setapak ini menjadi sasaran empuk gue untuk berpegangan. Karena di sebelah kiri jalan setapak, tepat jurang menganga lebar siap memangsa jikalau kami tak hati-hati.

Percayalah. Jika waktu bisa diulang kembali, gue bakal lebih memilih istirahat di rumah daripada menantang maut kayak gini. Apalagi berkali-kali gue kepeleset dan hampir jatuh. Kesel. Iya kesel. Kenapa ini jalanan licin banget. Kenapa ini sendal botak. Kenapa huhuhu.

“Ayo, Teh ikutin saya. Saya pegangin,” gadis dengan baju berwarna biru ini menawarkan diri dan langsung memegang tangan gue untuk dituntun. Gadis ini bahkan mengambil posisi di sebelah kiri gue, yang artinya jika gue ga sengaja terpeleset, gadis ini yang akan jatuh duluan. Dia melindungi gue seperti ini dan membuat gue merasa mengenalnya sudah lama.

“Ini Teh injek batunya,” atau “Ini teh yang ga licin” atau “Ini Teh jangan yang itu licin,” atau “Teh awas jangan pegangan yang itu ada durinya,” adalah nyanyian sepanjang gadis ini menuntun gue. Haru bener deh. Karena dia begitu memerhatikan kemalangan gue dan memutuskan membantu gue padahal beberapa kali gue menemukan nada getir cemas di dalam suaranya.

Alhamdulillah kami sampai di tempat tujuan dengan selamat. Ajaibnya, ketika mata gue bertatapan dengan si air terjun, lelah gue seketika hilang. Satu per satu teman gue mulai masuk ke air terjun, gue jadi orang kesekian yang akhirnya memutuskan untuk ikut terjun. Dengan bawelnya gue memanggil nama Oca untuk menuntun gue yang pada akhirnya berada di dekat Oca justru 'merugikan' gue, karena di akhir permainan air kami Oca sempat panik dengan derasnya arus yang diciptakan oleh air terjun dan dia mendorong gue ke dalam air. Bagus. Beruntung gue orangnya sabar wkwk.

Sebenarnya gue gabisa untuk ga merasa cemas memikirkan nasib gue keluar dari curug ini. Berharap cemas gadis dengan baju biru itu, mau menuntun gue kembali, setelah tahu betapa merepotkannya menuntun seorang gue. Beruntung, ketika teman-teman gue mulai siap untuk menuruni jalan setapak, si gadis baju biru dengan sigap berada di dekat gue. Gue merasa aman saat itu walau hanya diawasi oleh gadis yang jauh lebih muda dan lebih kecil dari gue.

Lagi dan lagi, terpeleset karena sandal yang gue pakai licin di bagian dalam dan luar. Melihat itu gadis dengan baju biru memegangi lengan gue. Gadis lainnya menawarkan diri untuk memakai sandal gue yang super licin dan membiarkan gue memakai sandalnya yang tidak licin. Gue menyetujuinya

Perjalanan pulang tetap tidak kalah serunya dengan perjalanan saat berangkat tadi. Karena gue harus bolak-balik bertukar sandal dengan gadis baju biru karena sandal gue licin. Begitu kami bertukar sandal dan sandal yang gue pakai kembali licin, sandal yang ada padanya sudah siap dipakai dan keadaannya pun tidak licin. Jadi pertanyaannya, ada apa dengan kaki gue???

Belakangan gue tahu gadis dengan baju berwarna biru namanya Samnah. Gadis cantik khas suku sunda nan pemberani. Begitu ramah dan berjiwa sosial. Dengan selamatnya nyawa gue berkat banyak bantuan Samnah, di hari-hari berikutnya gue semakin dekat dengan Samnah.

Sampai Samnah berhasil membuat gue menjadi orang terakhir yang naik di bus penjemputan mahasiswa KKN UNJ. Samnah tak kunjung berhenti menangis, terlihat begitu takut dilupakan. Samnah, mana bisa Teteh lupa sama Samnah???

This part I wrote for you, Samnah. Adik Teteh yang paling pemberani. Semangat sekolahnya, cepet lulus, cepet ke Jakarta, Teteh siap jadi Tour Guide pribadi-nya Samnah di Jakarta. Sehat terus yaa Sam! Teteh sayang sama Samnah...

Cerita KKN Part 1 ~ Curug Gendang

Sebagai mahasiswi dari jurusan Pendidikan Administrasi Perkantoran di Universitas Negeri Jakarta, Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan salah satu program kuliah yang harus gue terima dengan penuh rasa ikhlas. Sebulan harus tinggal di daerah terpencil yang gatau gimana sinyalnya, bakal tinggal di rumah yang seperti apa, lingkungan yang seperti apa, teman seatap yang seperti apa. Semua hal itu sedikit membuat gue takut dan berharap bisa meng-skip KKN.

Tapi semua ketakutan gue hilang seketika begitu gue tau desa apa yang gue tempatin. Desa Sukarame di Kecamatan Carita, Kab Pandeglang, Banten, yang ternyata merupakan desa dengan banyak tempat wisata. Belum lagi tempat tinggal gue selama di Sukarame yang super nyaman dan dapet bonus kelucuan Ica -cucu dari pemilik rumah- hehe.

Mau ke pantai??? Tinggal nyebrang ke depan rumah. Mau ke sawah??? Di belakang rumah ada. Mau ke bendungan??? Atau mau ke air terjun??? Ada semua di sini hehe. Alhamdulillah rezeki anak salehah haha.

Minggu kedua ada di Sukarame, gue dan teman satu kelompok berencana pergi ke air terjun di Sukarame namanya Curug Gendang sebagai refreshing setelah lelah mengerjakan program. Kami janjian buat pergi bareng dengan anak-anak SMP dari Yayasan Al-Musyarafah.

Yap kalau gue gak salah, ini adalah perjalanan wisata outdoor gue yang ke-2 tanpa orangtua gue. Tapi ini jelas lebih menantang karena orang di luar Banten mungkin tidak mengetahui lokasi wisata Curug Gendang ini. Sekaligus merupakan tempat wisata yang berada di pedalaman Carita yang mungkin petugas-petugasnya pun tidak begitu mementingkan keselamatan pengunjung. Maklum.

Kami berangkat sekitar pukul 10 pagi dan ternyata anak-anak SMP yang pergi bersama kami semuanya perempuan. Ada juga beberapa diantara mereka yang baru pertama kali ke Curug Gendang. Kami diwanti-wanti oleh pemilik rumah dan tetangga sekitar agar jangan sampai terpisah, sepakati waktu istirahat, turuti pantangan yang ada di sana. Mereka bilang lokasi wisata ini masih sakral.

Gue dengan pede-nya dan memang sudah khas gue, gue pakai sepatu sandal croks coklat kesayangan gue yang udah botak bin dekil. Perjalanan yang ditempuh sekitar 6-9 km membuat kami mencuri kesempatan untuk mengobrol dengan anak-anak perempuan SMP ini, atau selanjutnya sebut saja gadis-gadis.

Gadis-gadis ini cukup perhatian dan mereka memiliki jiwa sosial yang patut diacungi jempol. Apalagi saat gue -anggap saja yang terlemah- megap-megap kehabisan napas karena jalanan menanjak yang super sadis. Gue pun sangsi bisa lewat jalan tanjakan itu kalau Oca -temen 1 kelas gue- gak nuntun, atau geret, gue pakai ranting. Jangan dibayangkan jalanannya mulus, jalanan ini sebenarnya merupakan kaki bukit yang sudah dibuat jalur oleh warga sekitar. Gue merasa menang melewati kaki bukit itu walaupun masih dalam keadaan megap-megap kehabisan oksigen dan belum bisa melanjutkan perjalanan. Gadis-gadis ini begitu semangat sampai menularkan semangatnya ke gue. Sayangnya, rasa semangat yang mereka tularkan ke gue ga direspon baik sama kondisi fisik gue. Mereka bahkan rela beristirahat setiap gue bilang, “ntar dulu ga kuat,” lalu duduk sambil memijit kepala gue.

Gadis-gadis ini mungkin tak tega melihat gue yang ga karuan keadaannya. Apalagi ga ada cowok yang ikut ke Curug Gendang bersama kami. Raut wajah beberapa diantara mereka mulai cemas. Entah mencemaskan keadaan gue atau mencemaskan kapan mereka akan sampai di tujuan karena keberadaan gue memang memghambat perjalanan mereka. Wkwk.

Bersambung... ;)